Oleh : Ridho Aprilian Syahputra
Indonesia Menang Gugatan terhadap Uni Eropa di WTO
Indonesia memenangkan gugatan di WTO terhadap Uni Eropa atas produk minyak sawit (Crude Palm Oil) dan biofuel nabati kelapa sawit di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (Dispute Settlment Body WTO/DSB WTO) pada 10 Januari 2025 lalu. Putusan ini menetapkan dan mengakui bahwa kebijakan Uni Eropa yaitu Renewable Energy Directive (RED) II telah melanggar regulasi perdagangan global yang ada di WTO. Meskipun negara berkembang, melalui momentum ini Indonesia telah berhasil membuktikan mampu melawan dan memvalidasi adanya tindakan sewengang-wenang dan dominasi yang dilakukan Uni Eropa kepada dunia atas diksriminasi ekonomi produk sawit asal Indonesia untuk masuk ke kawasan pasar eropa.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan menyambut baik hasil putusan DSB WTO terkait kasus diskriminasi produk sawit (CPO) asal Indonesia ini. Pasalnya Uni Eropa telah melakukan pengecualian dengan bertindak merugikan Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia saat ini. Mereka melakukan diskriminasi terhadap CPO dan biofuel atau bahan bakar nabati berbahan kelapa sawit, sebaliknya mereka cenderung memberikan perlakuan khusus yang menguntungkan terhadap produk serupa yang berasal dari kawasan benua Eropa seperti minyak grapseed, bunga matahari (sunflower) bahkan kedelai (soybean) sekalipun.
Kronologi Kasus Gugatan Indonesia di WTO
Awal mulanya kasus ini bergulir, saat Indonesia untuk pertama kalinya melayangkan gugatan terhadap Uni Eropa ke DSB WTO pada Desember 2019 dengan nomor gugatan DS593 : European Union- Certain Measure Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuel. Gugatan ini dilayangkan RI imbas dari adanya pembatasan masuknya produk CPO minyak kelapa sawit dan biofuel nabati kelapa sawit akibat adanya regulasi Uni Eropa yakni RED II . Tak hanya itu gugatan ini juga dipicu munculnya regulasi Delegated Regulation dan Kebijakan Prancis yang membatasi konsumsi produk berbahan dasar kelapa sawit hingga sebesar 7% serta penghentian penggunaan produk CPO secara bertahap di eropa (phase out).
Ironisnya di tengah melambungnya harga CPO global, justru kinerja keran ekspor Indonesia untuk produk minyak kelapa sawit (CPO) dan turunanya ke Eropa beberapa tahun belakangan mengalami merosot tajam. Sejumlah penurunan tertinggi terjadi di negara tujuan ekspor Belanda 39%, Inggris 22% diikuti Jerman, Italia, dan Spanyol. Menurut data dari Badan Pusat Statistika (BPS) permasalahan ini telah terjadi sejak Kuartal I 2019 akibat adanya kampanye negatif sawit yang digalakan oleh Eropa. Tentu situasi ini sangat merugikan Indonesia mengingat saat ini Indonesia menjadi negara terbesar produsen sawit dunia yang memenuhi berbagai permintaan sawit mancanegara tak terkecuali Uni Eropa serta komoditas tersebut telah menjadi andalan sumber Devisa Indonesia.
Alasan Uni Eropa Menolak Produk Sawit
Renewable Energy Directive (RED) atau Direktif Energi Terbarukan merupakan kebijakan yang dicetuskan oleh Uni Eropa pada 23 April 2009. Kebijakan ini mensyaratkan untuk semua negara-negara anggota Uni Eropa untuk menerapkan transisi ke energi yang bersih dan terbarukan dalam operasional sehari-hari terkhusus dalam transportasi. Langkah selanjutnya pada tanggal 4 April 2017 Uni Eropa mengeluarkan konsesi terkait Minyak Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Hujan yang dipelopori oleh enam negara Uni Eropa diantaranya Denmark, Prancis, Inggris, Jerman, Belanda dan Norwegia. Enam negara tersebut mendukung visi keberlanjutan crude palm oil serta mengakhiri perusakan hutan di tahun 2020.
The Commite on the Enviroment Public Health and Food Security (ENVI) membuat laporan yang berisi tentang penghentian tindakan pengrusakan hutan hujan. Adapun laporan tersebut berisi pertama kebijakan pembatasan konsumsi bahan bakar non-sustainable dari minyak nabati pada tahun 2020, kedua mewajibkan sertifikasi dari Uni Eropa atas penggunaaan minyak nabati, terakhir melarang sepenuhnya penggunaan bahan pangan untuk bahan bakar minyak nabati tahun 2030. ENVI menilai bahwa penyebab perubahan iklim saat ini dampak dari deforestasi lebih jauh lagi kelapa sawit menjadi penyebab kunci dari permasalahan tersebut. Setelah laporan ini disahkan lahirlah resolusi eropa yang mendorong diamandemenya RED I menjadi RED II. Kebijakan RED II ini disepakati pada Juni 2018 kemudian disahkan pada Desember 2018 yang merupakan bagian dari Clean Energy for all European Package. Aturan ini menargetkan mulai tahun 2021 negara Uni Eropa telah mencapai level nihil penggunaan bahan bakar kelapa sawit pada konsumsi energi bruto dengan target maksimal tercapai pada tahun 2030.
Kebijakan RED II ini mengikat negara anggota Uni Eropa untuk melaksanakan sekurang-kurangnya menggunakan energi bersih sebesar 32%. Meskipun CPO atau Minyak Kelapa Sawit tergolong bahan bakar nabati, namun kebijakan tersebut justru melarang penggunaan CPO di eropa karena mereka menganggap hal tersebut tidak sesuai dengan standar kebijakan energi terbarukan yang ada dalam RED II. Menurut data hasil penelitian Globiom (Ecofys dan IIASA ), bahan bakar dari komoditas sawit memiliki ILUC value yang tinggi sebesar 231 gCO2/MJ disusul rapeseed oil sebesar 65 gCO2/MJ dan sunflower 63 gCO2/MJ. Bukan tanpa alasan mereka menganggap bahwasanya biofuel kelapa sawit memiliki tingkat risiko emisi karbon tinggi dan menjadi sebab utama deforestasi dan alih fungsi lahan berakibat pada perubahan iklim sehingga mereka mulai 1 januari 2019 telah mengurangi penggunaan biodiesel sawit secara bertahap.
Dampak terhadap Indonesia dan Langkah Penyelesaian
Tentu melihat situasi tersebut Indonesia merasa dirugikan atas keputusan yang dibuat oleh Uni Eropa, mengingat indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar saat ini diikuti Malaysia, Thailand, Kolombia. Eropa memang terkenal dengan kampanye globalnya tentang keberlanjutan lingkungan melalui kebijakan RED II selama ini. Namun di satu sisi justru kampanye tersebut dipakai sebagai topeng oleh Uni Eropa untuk mendiskriminasi produk Indonesia dengan dalih keberlanjutan lingkungan melalui proteksionisme barang impor yang masuk ke kawasan mereka. Meskipun Eropa sendiri bukanlah pasar terbesar produk sawit (CPO) Indonesia, namun kampanye tersebut dapat berdampak luas yang dapat memicu negara lain untuk ikut menanggapi negatif produk sawit Indonesia hanya dengan satu sisi paradigma saja.
Pada sisi yang lain, seharusnya negara Uni Eropa haruslah proaktif dan partisipatif dengan mengikutsertakan negara terdampak yang bersangkutan khususnya Indonesia dalam menentukan sebuah kebijakan ini. Kebijakan RED II yang mengkategorikan biofuel berbahan sawit memiliki risiko signifikan terhadap perubahan iklim diniliai sepihak dan jauh dari kata adil. Keputusan mereka telah melanggar prinsip MFN WTO (Most Favoured Nation). MFN berprinsip untuk memposisikan semua negara sama tanpa adanya syarat dan diskriminasi. Baik biodesel sawit maupun jenis lain pada prinsipnya tetaplah output-nya bahan bakar sehingga diterapkanya kebijakan RED II ini melanggar ketentuan immediately WTO karena adanya pengecualian produk sawit tergolong serupa yang harus melalui sertifikasi Low ILUC terlebih dahulu di mana seharusnya keuntungan negara anggota WTO didapatkan secara langsung dan tanpa syarat apapun.
Pada dasarnya meskipun kebijakan tersebut secara yuridis sah, namun dengan putusan WTO atas kasus ini tentu secara implisit mengakui adanya divergensi antara RED II selaku regulasi di Uni Eropa dan regulasi WTO, sehingga Uni Eropa diwajibkan untuk menyelaraskan aturan mereka dengan regulasi dagang internasional, tanpa mengabaikan kepentingan negara terdampak dan Indonesia selaku negara produsen sawit berhak diperlakukan sama dengan negara produsen jenis biodesel lain sesuai dengan prinsip MFN sehingga roda perekonomian dunia dapat dilaksanakan secara adil tanpa harus saling meniadakan.