Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat basis penerimaan negara dan mendukung pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19. Peningkatan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dimulai dari 10% menjadi 11% pada April 2022, dengan rencana untuk mencapai 12% selambat-lambatnya tahun 2025. Pemerintah memilih tahun 2025 sebagai batas waktu karena memberikan ruang bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi dan memungkinkan adaptasi bertahap bagi dunia usaha serta masyarakat terhadap kebijakan baru ini. Kebijakan ini menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, pengamat ekonomi, dan pelaku usaha, yang memunculkan perdebatan pro dan kontra.

Pro Kenaikan PPN 12%

  1. Peningkatan Pendapatan Negara

Dengan kenaikan PPN, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan pajak yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Langkah ini dianggap penting untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.

  1. Efisiensi Sistem Pajak

Tarif PPN 12% dianggap lebih sejalan dengan standar internasional. Sebagai perbandingan, Jepang memiliki tarif PPN sebesar 10%, sementara rata-rata tarif PPN di negara-negara Uni Eropa berkisar antara 15% hingga 25%, seperti Jerman (19%) dan Swedia (25%). Banyak negara maju memiliki tarif PPN yang lebih tinggi, seperti Jepang (10%) dan negara-negara Eropa (15-25%). Kenaikan ini dapat meningkatkan daya saing Indonesia dalam konteks global.

  1. Mendorong Redistribusi Pendapatan

Pemerintah berkomitmen memberikan kompensasi kepada masyarakat kurang mampu melalui program bantuan sosial dan insentif pajak untuk sektor-sektor strategis. Ini diharapkan dapat mengurangi dampak regresif dari kebijakan ini.

Kontra Kenaikan PPN 12%

  1. Beban bagi Konsumen

PPN merupakan pajak tidak langsung yang dibebankan kepada konsumen. Kenaikan tarif ini dapat meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya mengurangi daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.

  1. Risiko Inflasi

Kenaikan tarif PPN dapat memicu inflasi, terutama pada barang kebutuhan pokok. Hal ini dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang sudah tertekan oleh dampak pandemi, terutama di sektor kebutuhan pokok seperti pangan dan transportasi, yang rentan mengalami kenaikan harga akibat pajak yang lebih tinggi.

 

  1. Dampak pada Dunia Usaha

Pelaku usaha, terutama UMKM, dapat merasakan dampak negatif dari kenaikan ini. Berdasarkan survei oleh Asosiasi UMKM Indonesia, 60% UMKM melaporkan peningkatan biaya operasional setelah penerapan PPN 11%, yang diperkirakan akan semakin membebani mereka jika tarif dinaikkan menjadi 12%. Biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan harga bahan baku dan jasa dapat mengurangi daya saing produk lokal.

Kesimpulan

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% adalah langkah yang diambil pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan. Namun, kebijakan ini harus disertai dengan langkah mitigasi yang efektif, seperti bantuan sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako, serta subsidi energi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan insentif pajak, seperti pengurangan PPh final untuk UMKM, guna mendorong daya saing pelaku usaha. Dengan pendekatan yang tepat, dampak negatif dari kenaikan ini dapat diminimalkan sehingga tujuan pembangunan nasional tetap tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas.